Para personil Kodam IX/ Udayana yang beragama Hindu baik Sipil maupun Militer sebagai Pengempon Pura Agung Udayana di Makodam IX/ Udayana, melaksanakan pemelaspasan alit terhadap Piasan Pura tersebut, karena telah mendapatkan cuntaka (kebakaran Pada tanggal 2 November 2011). Upacara tersebut dipimpin oleh Kabintaldam IX/ Udayana (Bpk. Kolonel Caj Drs. I Dewa Ketut Budiana, M. Phil. H. Dilaksanakan pada Purnama Kelima Kamis Pahing Wuku Dukut (10/11).
Perlu diketahui, dengan sigapnya Kabintaldam IX/ Udayana, tidak sampai satu Minggu Piasan tersebut telah selesai diperbaiki dengan sempurna, kemudian dilanjutkanlah dengan Pemelaspasan Alit, yang tujuannya agar segera bisa melaksanakan persembahyangan setiap hari di Pura tersebut.
Upacara pemelaspasan diawali dengan Pecaruan Ayam Brumbun (manca warna), dan saruntutannya, serta memakai Gelar Sanga, maksudnya unsur- unsur negatif dan positif menjadi bertemu, terjadilah kehidupan yang bermamfaat bagi Sarwa Prani. Dengan pecaruan (Bhuta Yadnya) akan menetralisir pengaruh- pengaruh buruk, para Bhuta kala diharapkan akan somia atau menjadi roh- roh suci yang selanjutnya akan menyelamatkan kehidupan, khususnya bagi para pengempon Pura Agung Udayana Makodam IX/ Udayana.
Selanjutnya, mendem pedagingan Bhoma Kerti, menurut Ka bintaldam IX/ Udayana, pedagingan ini adalah pedagingan yang terkecil atau Pedagingan pendahuluan untuk pedagingan yang lebih besar berikutnya, namun apabila pelaksanaan Yadnya ini dilaksanakan dengan Jujur, hening, dan iklas pedagingan ini akan mempunyai kwalitas yang utama. Pedagingan disetiap bangunan suci Hindu sangat diperlukan untuk menimbulkan vibrasi positif bagi bangunan tersebut, bangunan tersebut akan terinduksi oleh magnet- magnet pedagingan tersebut, karena pedagingan tersebut terdiri dari logam- logam mulia dan permata (Panca Datu), disamping itu dengan Mantra- mantra Suci Weda akan menghidupkan bangunan Suci tersebut.
Setelah mendem Pedagingan, dilaksanakan Upacara penemakuhan, bangunan/ Piasan diisi Plawa ( daun- daunan yang masih hijau), memohon kepada Bhagavan Visvakarman (sebagai Dewa atau Penguasa Bangunan tersebut), serta pesaksi Kepada Sanghyang Siwa Raditya, Sanghyang Tiga Guru Wesesa, dan Sanghyang Tryodasasaksi. Agar bangunan/ Piasan tersebut menjadi hidup kembali, dan disucikan. Mengapa ? bangunan/ Piasan tersebut perlu dihidupkan kembali, karena bangunan tersebut awalnya dibuat dari kayu yang merupakan pohon hidup, kemudian ditebang dan dijadikan bahan bangunan, ini menjadi benda mati ( bangkai), sehingga inilah perlunya bangunan tersebut perlu dihidupkan kembali dengan upacara penemakuhan, pemelaspas, Pasupati atau pengurip- urip, sehingga bangunan tersebut tidak berstatus bangkai (mati)lagi, karena itu bangunan/ Piasan tersebut tidak bisa digunakan untuk Nganteb sebelum selesai diupacarai dengan Penemakuhan, Pengurip- urip, dan Pasupati (dihidupkan kembali). Apabila prosudur ini dilaksanakan dengan benar oleh Sang Pemangku atau yang Muput Upacara, bangunan tersebut akan memancarkan cahaya kehidupan yang memberikan ketenangan, keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan bagi yang datang sembahyang di Pura tersebut (ini menurut Mangkukris).
Setelah Upacara Penemakuhan selesai, dilanjutkan dengan Ngaturang Upakara, aturan Para Pangempon Pura (ngayab ke luhur), prosudurnya pertama ditujukan ke Penguasa tertinggi (sebagai Presidennya) Yaitu Sanhyang Widhi Wasa, dalam Upacara ini disebut Sanghyang Tiga Guru Wesesa, dan Sanghyang Tryodasasaksi, baru dilanjutkan Kepada Ida Bhatara- Bhatari, Dewa- Dewi, Sampai yang Paling bawah Sahnyang Cili Manik Maya (Sang Sedahan/ Penguasa Pekarangan), dilanjutkan dengan Masegeh pertama di Padmasana (sanggar Surya) Yang menghaturkan segehan Menghadap Padmasana Segehan ditaruh disebelah kiri Padmasana karena ancangan/ unen- unen Ida Bhatara berada desebelah kirinya, sebagaimana ajudan Presiden atau Insfektur Upacara pasti ajudan pembawa naskah amanat ada disebelah kirinya. Baru dilanjutkan mesegeh di Pelinggih- Pelinggih yang lain sampai dengan terbawah di Penunggun Karang, prosudurnya sama dengan mesegeh di Sanggar surya cuma nama yang diaturi segehan berbeda- beda, misalnya di Padmasana, Sanggar Surya, Halaman Pura atau Merajan bernama Sang Bhuta Bhucari, dihalaman Paibon Sang Durgha Bhucari, di halaman Rumah Sang Kala Bhucari atau Sang Indra Belaka bila ada Pengijeng Karang (Tumbal Karang), di Tugu Penunggun Karang (Penganggih) Sang Bhuta Preta, di ulun jurang Sang Kala Sumungsang, di perbatasan Sungai atau di Sumur Sang Kala Gora, di Perempatan jalan, Pertigaan jalan, jalan yang menombak Rumah, Rumah berbatasan dengan Setra (kuburan) Sang Durgha Maya, di halaman Pintu keluar Rumah (di jalan besar) Sang Durgha Bhucari, dan selanjutnya.
Acara selanjutnya adalah Persembahyangan Bersama, di awali dengan Puja Tri Sadhya, dilanjutkan dengan Keramaning Sembah, dan Metirtha. Pada saat para umat nunas Tirtha, Ka Bintaldam IX/ Udayana, menyampaikan Dharma Wacananya, yang pada intinya beliau menekankan bagaimana perlunya kita melaksanakan persembahyangan bersama, dengan sembahyang bersama kekuatan kesucian akan berlipat ganda, sehingga hal- hal yang bersifat buruk akan cepat dapat di netralisir menjadi kebaikan, disamping itu kita akan dapat tukar- menukar informasi sesama umat, dan akan terjadi jalinan sirahturahmi saling bantu membantu untuk mengatasi kesusahan. Yang paling penting untuk mencari Tuhan kita harus jujur hening, dan iklas. Apabila ada unsur- unsur lain yang bersifat pamerih misalnya Politik, tujuan kita sebenarnya sembahyang sudah menyimpang dari hakekat Dharma itu, oleh karena itu kewajibanmu hanya bekerja tanpa memikirkan hasilnya (bhg.II.47).
Acara terakhir adalah Nyineb/ Ngelebar Ida Bhtara- Bhtari dengan menghaturkan Upakara Penyineban, dan Parama Santih...Om Awighnamastu...Om Santih...Santih...Santih Om...Suksma. (iwp-mangkukris/16112011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar