Kamis, 11 Agustus 2011

ARCA DEWA DAN PERWUJUDAN





Ka Bintaldam IX/ Udayana Bapak Letnan Kolonel Caj Drs. I Dewa Ketut Budiana, M. Fil. H, Memberikan Dharmawacana kepada Personil Sipil Maupun Militer yang beragama Hindu Makodam IX/ Udayana Pada persembahyangan tengah hari Madyandina sandhya jam 12.00 wita, bertempat Di Pura Agung Udayana Makodam IX/ Udayana. (Selasa,09/08).
Dalam ceramah Bapak Kabintal tersebut mengambil judul, "ARCA DEWA DAN PERWUJUDAN".Diawali mengulas tentang PURA yang merupakan nama tempat suci Hindu khususnya di Bali. PURA itu berarti Kota Suci sebagai tempat berstananya Tuhan dan segala Manifestasinya, kalau untuk manusia namanya PURI (sebagai tempat tinggal Raja yang lengkap dengan tempat tinggal Orang- orang sucinya, para abdi raja dan lain- lain). PURA atau PARHYANGAN sebagai tempat Suci Hindu ada untuk menyembah Roh- roh Leluhur yang telah meninggal dan telah disucikan Rohnya dengan Upacara Ngeroras, Nyekah, Memukur, Maligya, dan yang tinggi disebut Ngeluwer, status Roh tersebut berubah disebut DEWA HYANG dan setelah diadakan Upacara Nyegara Gunung, Roh- roh Suci tersebut distanakan di Padharman/ Paibon, atau di Merajan Rong tiga (Kemulan), di Jawa di Zaman Kerajaan duhulu Upacara semacam ini disebut Upacara KASODO, Roh- roh yang telah suci ini di Candhikan dan dibuatkan Arca Perwujudan. Jadi bila ditinjau dari tempat yang desembah ada PURA untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan segala Manifestasinya, dan ada Pura untuk menyembah Roh- roh leluhur yang telah disucikan, di Bali disebut PURA Dadya, Paibon, Panti atau Pedharman, di Jawa pun kalau kita teliti Candhi ada untuk menyembah Roh Raja seperti Candhi Jago, Candhi Kidal, Candhi Singosari Dan lain- lain. Sedangkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya seperti Candhi Prambanan, Candhi Penataran dan lain- lain, dengan demikian Pura ada yang berfungsi untuk menyembah Roh/ Atma leluhur dan ada yang berfungsi untuk menyembah Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Kembali kepada ARCA DEWA DAN ARCA PERWUJUDAN, pada zaman Kerajaan Hindu dahulu Raja atau Orang- orang Suci yang dihormati bila meninggal, sama perlakuannya seperti yang tercantum dalam petunjuk kitab WEDA, badan wadagnya dikembalikan ke asalnya yang tersusun dari lima unsur disebut PANCA MAHA BHUTA bisa dengan cara ditanam atau dibakar yang penting di Pralina oleh Sang Sulinggih, setelah dipralina Unsur tanah dikembalikan ke tanah, unsur air ke air, unsur api ke api, unsur udara ke udara, dan unsur akasa ke akasa. Unsur Roh/ Atma tidak akan mengingat badan kasarnya yang terbentuk dari lima unsur tadi, selanjutnya Roh/ Atma ini ditarik/ dibuatkan Pengawak dalam bentuk Puspa Sarira atau Puspa Lingga, setelah Roh/ Atma tersebut di dalam Pengawak, pengawak tersebut di Pralina lagi, maksudnya untuk membersihkan Roh/ Atma ini dari kekotoran dosa papa neraka yang diakibatkan oleh Karmanya, dan Upacara untuk Roh/ Atma ini bisa dilakukan beberapa kali asalkan Upacara berikutnya lebih besar tingkatannya dari sebelumnya khususnya dari segi kwalitasnya, kenapa upacara untuk penyucian Roh/ Atma bisa dilakukan lebih dari sekali ?, maksudnya seperti membersihkan serobong/ tudung lampu teplok minyak tanah yang dipenuhi noda hitam akibat nyala lampu tersebut secara terus- menerus, bila dibersihkan/ dilap sekali saja namun belum merasa sempurna bersihnya, bisa di lap/ dibersihkan lagi, tetapi harus dengan lap yang lebih baik dari yang sebelumnya, karena kalau dengan lap pertama atau yang lebih jelek/ kotor, akan menambah lebih suram serobong lampu tersebut, karena itulah harus dipakai lap yang lebih bersih dari yang sebelumnya sehingga lampu itu akan menjadi bersih berkilauan, inilah sebabnya upacara penyucian Roh/ Atma bisa dilakukan berkali- kali dari ngeroras Nyekah sampai dengan ngeluwer. Disinilah orang, banyak tidak mengerti tentang perlakuan terhadap orang meninggal khususnya orang Hindu sangat rumit, bagi orang yang tidak mengerti dan tidak mau tahu memang sangat ruwet, tetapi bagi Orang- orang Hindu yang mendalami ajarannya, merasa sangat bersyukur menjadi penganut Hindu, kitab Hindu/ Weda menyatakan manusia sebenarnya tidak pernah mati, manusia sejatinya adalah Roh/ Atma yang kekal, itu tidak bisa terbakar oleh api, tidak terbasahi oleh air, tidak terkeringkan aleh angin, tidak terluka oleh senjata itu bersemayan di setiap makhluk dan seterusnya. Sedangkan badan kasar/ material kita ini hanyalah seperti baju kalau sudah rusak harus dibuang, itulah sebabnya orang meninggal badan materialnya harus dibuang, di kembalikan keasalnya di pralina supaya tidak diingat oleh badan sejatinya Roh/ Atmanya yang paling cepat dengan cara dibakar dan abunya dalarung ke laut. Sedangkan Roh/ Atmanya yang sudah mengandung rekaman- rekaman karma dari badan wadagnya perlu disucikan, dan disinilah kalau zaman dahulu dibuatkan Arca Perwujudan dan dicandhikan, pada zaman sekarang diganti dengan pengawak, Puspa Sarira, ataupun Puspa Lingga. Roh/ Atma Yang bersangkutan akan masuk kedalam Pengawak, Puspa Sarira, atau Puspa Lingga tersebut, kemudian harus dibakar dan di Pralina agar Karma- karma negatif yang melekat pada Roh/ Atma bersangkutan menjadi berkurang bahkan lenyap sama sekali. Memang penghapusan dosa besar hanya dapat dilakukukan oleh orang yang bersangkutan bukan orang lain, orang lain hanya dapat mengurangi atau menunda akibat perbuatan tersebut, walaupun upacara ini dilakukan oleh Anak, Cucu, atau keturunannya, namun ini adalah wujud membayar hutang dari keturunannya kepada leluhurnya (Pitra Rna) supaya keturunannya terbebas dari karma- karma negatif dan lebur menjadi karma- karma positif, sehingga keturunannya yang melakukan Upacara ini terhindar dari perbuatan dosa terhadap leluhurnya. Dari hasil penelitian Para Arkeolog, Arca perwujudan bentuknya agak kaku, biasanya memegang bunga teratai. sedangkan Arca Dewa bentuknya agat tenang, memegang senjata sesuai dengan nama Dewa tersebut dan dilatar bekangi sinar Dewa (vibrasi). Sekarang walaupun tidak dibuatkan Arca Perwujudan, namun tidak bertentangan dengan petunjuk Kita Suci VEDA, karena Veda menyatakan Roh/ Atma itu adalah kecil sekecil- kecilnya, besar sebesar- besarnya bersifat Nirwikaram tidak dipengaruhi oleh Ruang dan Waktu, sehingga sekarang dapat diwujudkan dengan Banten Upakara Penuntunan, dalam upacara Nyegara Gunung berapapun banyaknya jumlah Roh/ Atma Leluhur yang di tuntun tersebut bisa masuk disana dan distanakan dalam Satu Gedong Bata, Padharman, Paibon, Kemulan Rong Telu, Padadyaan atau Panti. Inilah hebatnya agama Hindu, Orang yang sudah meninggalkan Jazatnya diperlakukan sangat terhormat desembah seperti Malaikat (Dewa- Dewi). Jadi bagi Orang- Orang Hindu Tidak akan sia- sia menanam karma baik kepada Anak, Cucu keturunannya, Keluarga, Masyarakat Bangsa Dan Negara (Dharma Agama dan Dharma Negara). Bersyuhurlah bagi mereka yang masih taat melaksanakan ajaran Hindu, karena semua yang kita lakukan menurut Petunjuk VEDA mengandung makna dan filsafat yang sangat mendalam untuk terwujudnya JAGADHITA dan MOKSA.
Ksamaswamam...OM SANTIH...SANTIH...SANTIH OM... (mangkukris/12082011).