Selasa, 15 November 2011

PEMELASPASAN ALIT PIASAN PURA AGUNG UDAYANA SETELAH KENA MUSIBAH KEBAKARAN






Para personil Kodam IX/ Udayana yang beragama Hindu baik Sipil maupun Militer sebagai Pengempon Pura Agung Udayana di Makodam IX/ Udayana, melaksanakan pemelaspasan alit terhadap Piasan Pura tersebut, karena telah mendapatkan cuntaka (kebakaran Pada tanggal 2 November 2011). Upacara tersebut dipimpin oleh Kabintaldam IX/ Udayana (Bpk. Kolonel Caj Drs. I Dewa Ketut Budiana, M. Phil. H. Dilaksanakan pada Purnama Kelima Kamis Pahing Wuku Dukut (10/11).
Perlu diketahui, dengan sigapnya Kabintaldam IX/ Udayana, tidak sampai satu Minggu Piasan tersebut telah selesai diperbaiki dengan sempurna, kemudian dilanjutkanlah dengan Pemelaspasan Alit, yang tujuannya agar segera bisa melaksanakan persembahyangan setiap hari di Pura tersebut.
Upacara pemelaspasan diawali dengan Pecaruan Ayam Brumbun (manca warna), dan saruntutannya, serta memakai Gelar Sanga, maksudnya unsur- unsur negatif dan positif menjadi bertemu, terjadilah kehidupan yang bermamfaat bagi Sarwa Prani. Dengan pecaruan (Bhuta Yadnya) akan menetralisir pengaruh- pengaruh buruk, para Bhuta kala diharapkan akan somia atau menjadi roh- roh suci yang selanjutnya akan menyelamatkan kehidupan, khususnya bagi para pengempon Pura Agung Udayana Makodam IX/ Udayana.
Selanjutnya, mendem pedagingan Bhoma Kerti, menurut Ka bintaldam IX/ Udayana, pedagingan ini adalah pedagingan yang terkecil atau Pedagingan pendahuluan untuk pedagingan yang lebih besar berikutnya, namun apabila pelaksanaan Yadnya ini dilaksanakan dengan Jujur, hening, dan iklas pedagingan ini akan mempunyai kwalitas yang utama. Pedagingan disetiap bangunan suci Hindu sangat diperlukan untuk menimbulkan vibrasi positif bagi bangunan tersebut, bangunan tersebut akan terinduksi oleh magnet- magnet pedagingan tersebut, karena pedagingan tersebut terdiri dari logam- logam mulia dan permata (Panca Datu), disamping itu dengan Mantra- mantra Suci Weda akan menghidupkan bangunan Suci tersebut.
Setelah mendem Pedagingan, dilaksanakan Upacara penemakuhan, bangunan/ Piasan diisi Plawa ( daun- daunan yang masih hijau), memohon kepada Bhagavan Visvakarman (sebagai Dewa atau Penguasa Bangunan tersebut), serta pesaksi Kepada Sanghyang Siwa Raditya, Sanghyang Tiga Guru Wesesa, dan Sanghyang Tryodasasaksi. Agar bangunan/ Piasan tersebut menjadi hidup kembali, dan disucikan. Mengapa ? bangunan/ Piasan tersebut perlu dihidupkan kembali, karena bangunan tersebut awalnya dibuat dari kayu yang merupakan pohon hidup, kemudian ditebang dan dijadikan bahan bangunan, ini menjadi benda mati ( bangkai), sehingga inilah perlunya bangunan tersebut perlu dihidupkan kembali dengan upacara penemakuhan, pemelaspas, Pasupati atau pengurip- urip, sehingga bangunan tersebut tidak berstatus bangkai (mati)lagi, karena itu bangunan/ Piasan tersebut tidak bisa digunakan untuk Nganteb sebelum selesai diupacarai dengan Penemakuhan, Pengurip- urip, dan Pasupati (dihidupkan kembali). Apabila prosudur ini dilaksanakan dengan benar oleh Sang Pemangku atau yang Muput Upacara, bangunan tersebut akan memancarkan cahaya kehidupan yang memberikan ketenangan, keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan bagi yang datang sembahyang di Pura tersebut (ini menurut Mangkukris).
Setelah Upacara Penemakuhan selesai, dilanjutkan dengan Ngaturang Upakara, aturan Para Pangempon Pura (ngayab ke luhur), prosudurnya pertama ditujukan ke Penguasa tertinggi (sebagai Presidennya) Yaitu Sanhyang Widhi Wasa, dalam Upacara ini disebut Sanghyang Tiga Guru Wesesa, dan Sanghyang Tryodasasaksi, baru dilanjutkan Kepada Ida Bhatara- Bhatari, Dewa- Dewi, Sampai yang Paling bawah Sahnyang Cili Manik Maya (Sang Sedahan/ Penguasa Pekarangan), dilanjutkan dengan Masegeh pertama di Padmasana (sanggar Surya) Yang menghaturkan segehan Menghadap Padmasana Segehan ditaruh disebelah kiri Padmasana karena ancangan/ unen- unen Ida Bhatara berada desebelah kirinya, sebagaimana ajudan Presiden atau Insfektur Upacara pasti ajudan pembawa naskah amanat ada disebelah kirinya. Baru dilanjutkan mesegeh di Pelinggih- Pelinggih yang lain sampai dengan terbawah di Penunggun Karang, prosudurnya sama dengan mesegeh di Sanggar surya cuma nama yang diaturi segehan berbeda- beda, misalnya di Padmasana, Sanggar Surya, Halaman Pura atau Merajan bernama Sang Bhuta Bhucari, dihalaman Paibon Sang Durgha Bhucari, di halaman Rumah Sang Kala Bhucari atau Sang Indra Belaka bila ada Pengijeng Karang (Tumbal Karang), di Tugu Penunggun Karang (Penganggih) Sang Bhuta Preta, di ulun jurang Sang Kala Sumungsang, di perbatasan Sungai atau di Sumur Sang Kala Gora, di Perempatan jalan, Pertigaan jalan, jalan yang menombak Rumah, Rumah berbatasan dengan Setra (kuburan) Sang Durgha Maya, di halaman Pintu keluar Rumah (di jalan besar) Sang Durgha Bhucari, dan selanjutnya.
Acara selanjutnya adalah Persembahyangan Bersama, di awali dengan Puja Tri Sadhya, dilanjutkan dengan Keramaning Sembah, dan Metirtha. Pada saat para umat nunas Tirtha, Ka Bintaldam IX/ Udayana, menyampaikan Dharma Wacananya, yang pada intinya beliau menekankan bagaimana perlunya kita melaksanakan persembahyangan bersama, dengan sembahyang bersama kekuatan kesucian akan berlipat ganda, sehingga hal- hal yang bersifat buruk akan cepat dapat di netralisir menjadi kebaikan, disamping itu kita akan dapat tukar- menukar informasi sesama umat, dan akan terjadi jalinan sirahturahmi saling bantu membantu untuk mengatasi kesusahan. Yang paling penting untuk mencari Tuhan kita harus jujur hening, dan iklas. Apabila ada unsur- unsur lain yang bersifat pamerih misalnya Politik, tujuan kita sebenarnya sembahyang sudah menyimpang dari hakekat Dharma itu, oleh karena itu kewajibanmu hanya bekerja tanpa memikirkan hasilnya (bhg.II.47).
Acara terakhir adalah Nyineb/ Ngelebar Ida Bhtara- Bhtari dengan menghaturkan Upakara Penyineban, dan Parama Santih...Om Awighnamastu...Om Santih...Santih...Santih Om...Suksma. (iwp-mangkukris/16112011).


Kamis, 11 Agustus 2011

ARCA DEWA DAN PERWUJUDAN





Ka Bintaldam IX/ Udayana Bapak Letnan Kolonel Caj Drs. I Dewa Ketut Budiana, M. Fil. H, Memberikan Dharmawacana kepada Personil Sipil Maupun Militer yang beragama Hindu Makodam IX/ Udayana Pada persembahyangan tengah hari Madyandina sandhya jam 12.00 wita, bertempat Di Pura Agung Udayana Makodam IX/ Udayana. (Selasa,09/08).
Dalam ceramah Bapak Kabintal tersebut mengambil judul, "ARCA DEWA DAN PERWUJUDAN".Diawali mengulas tentang PURA yang merupakan nama tempat suci Hindu khususnya di Bali. PURA itu berarti Kota Suci sebagai tempat berstananya Tuhan dan segala Manifestasinya, kalau untuk manusia namanya PURI (sebagai tempat tinggal Raja yang lengkap dengan tempat tinggal Orang- orang sucinya, para abdi raja dan lain- lain). PURA atau PARHYANGAN sebagai tempat Suci Hindu ada untuk menyembah Roh- roh Leluhur yang telah meninggal dan telah disucikan Rohnya dengan Upacara Ngeroras, Nyekah, Memukur, Maligya, dan yang tinggi disebut Ngeluwer, status Roh tersebut berubah disebut DEWA HYANG dan setelah diadakan Upacara Nyegara Gunung, Roh- roh Suci tersebut distanakan di Padharman/ Paibon, atau di Merajan Rong tiga (Kemulan), di Jawa di Zaman Kerajaan duhulu Upacara semacam ini disebut Upacara KASODO, Roh- roh yang telah suci ini di Candhikan dan dibuatkan Arca Perwujudan. Jadi bila ditinjau dari tempat yang desembah ada PURA untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan segala Manifestasinya, dan ada Pura untuk menyembah Roh- roh leluhur yang telah disucikan, di Bali disebut PURA Dadya, Paibon, Panti atau Pedharman, di Jawa pun kalau kita teliti Candhi ada untuk menyembah Roh Raja seperti Candhi Jago, Candhi Kidal, Candhi Singosari Dan lain- lain. Sedangkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya seperti Candhi Prambanan, Candhi Penataran dan lain- lain, dengan demikian Pura ada yang berfungsi untuk menyembah Roh/ Atma leluhur dan ada yang berfungsi untuk menyembah Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Kembali kepada ARCA DEWA DAN ARCA PERWUJUDAN, pada zaman Kerajaan Hindu dahulu Raja atau Orang- orang Suci yang dihormati bila meninggal, sama perlakuannya seperti yang tercantum dalam petunjuk kitab WEDA, badan wadagnya dikembalikan ke asalnya yang tersusun dari lima unsur disebut PANCA MAHA BHUTA bisa dengan cara ditanam atau dibakar yang penting di Pralina oleh Sang Sulinggih, setelah dipralina Unsur tanah dikembalikan ke tanah, unsur air ke air, unsur api ke api, unsur udara ke udara, dan unsur akasa ke akasa. Unsur Roh/ Atma tidak akan mengingat badan kasarnya yang terbentuk dari lima unsur tadi, selanjutnya Roh/ Atma ini ditarik/ dibuatkan Pengawak dalam bentuk Puspa Sarira atau Puspa Lingga, setelah Roh/ Atma tersebut di dalam Pengawak, pengawak tersebut di Pralina lagi, maksudnya untuk membersihkan Roh/ Atma ini dari kekotoran dosa papa neraka yang diakibatkan oleh Karmanya, dan Upacara untuk Roh/ Atma ini bisa dilakukan beberapa kali asalkan Upacara berikutnya lebih besar tingkatannya dari sebelumnya khususnya dari segi kwalitasnya, kenapa upacara untuk penyucian Roh/ Atma bisa dilakukan lebih dari sekali ?, maksudnya seperti membersihkan serobong/ tudung lampu teplok minyak tanah yang dipenuhi noda hitam akibat nyala lampu tersebut secara terus- menerus, bila dibersihkan/ dilap sekali saja namun belum merasa sempurna bersihnya, bisa di lap/ dibersihkan lagi, tetapi harus dengan lap yang lebih baik dari yang sebelumnya, karena kalau dengan lap pertama atau yang lebih jelek/ kotor, akan menambah lebih suram serobong lampu tersebut, karena itulah harus dipakai lap yang lebih bersih dari yang sebelumnya sehingga lampu itu akan menjadi bersih berkilauan, inilah sebabnya upacara penyucian Roh/ Atma bisa dilakukan berkali- kali dari ngeroras Nyekah sampai dengan ngeluwer. Disinilah orang, banyak tidak mengerti tentang perlakuan terhadap orang meninggal khususnya orang Hindu sangat rumit, bagi orang yang tidak mengerti dan tidak mau tahu memang sangat ruwet, tetapi bagi Orang- orang Hindu yang mendalami ajarannya, merasa sangat bersyukur menjadi penganut Hindu, kitab Hindu/ Weda menyatakan manusia sebenarnya tidak pernah mati, manusia sejatinya adalah Roh/ Atma yang kekal, itu tidak bisa terbakar oleh api, tidak terbasahi oleh air, tidak terkeringkan aleh angin, tidak terluka oleh senjata itu bersemayan di setiap makhluk dan seterusnya. Sedangkan badan kasar/ material kita ini hanyalah seperti baju kalau sudah rusak harus dibuang, itulah sebabnya orang meninggal badan materialnya harus dibuang, di kembalikan keasalnya di pralina supaya tidak diingat oleh badan sejatinya Roh/ Atmanya yang paling cepat dengan cara dibakar dan abunya dalarung ke laut. Sedangkan Roh/ Atmanya yang sudah mengandung rekaman- rekaman karma dari badan wadagnya perlu disucikan, dan disinilah kalau zaman dahulu dibuatkan Arca Perwujudan dan dicandhikan, pada zaman sekarang diganti dengan pengawak, Puspa Sarira, ataupun Puspa Lingga. Roh/ Atma Yang bersangkutan akan masuk kedalam Pengawak, Puspa Sarira, atau Puspa Lingga tersebut, kemudian harus dibakar dan di Pralina agar Karma- karma negatif yang melekat pada Roh/ Atma bersangkutan menjadi berkurang bahkan lenyap sama sekali. Memang penghapusan dosa besar hanya dapat dilakukukan oleh orang yang bersangkutan bukan orang lain, orang lain hanya dapat mengurangi atau menunda akibat perbuatan tersebut, walaupun upacara ini dilakukan oleh Anak, Cucu, atau keturunannya, namun ini adalah wujud membayar hutang dari keturunannya kepada leluhurnya (Pitra Rna) supaya keturunannya terbebas dari karma- karma negatif dan lebur menjadi karma- karma positif, sehingga keturunannya yang melakukan Upacara ini terhindar dari perbuatan dosa terhadap leluhurnya. Dari hasil penelitian Para Arkeolog, Arca perwujudan bentuknya agak kaku, biasanya memegang bunga teratai. sedangkan Arca Dewa bentuknya agat tenang, memegang senjata sesuai dengan nama Dewa tersebut dan dilatar bekangi sinar Dewa (vibrasi). Sekarang walaupun tidak dibuatkan Arca Perwujudan, namun tidak bertentangan dengan petunjuk Kita Suci VEDA, karena Veda menyatakan Roh/ Atma itu adalah kecil sekecil- kecilnya, besar sebesar- besarnya bersifat Nirwikaram tidak dipengaruhi oleh Ruang dan Waktu, sehingga sekarang dapat diwujudkan dengan Banten Upakara Penuntunan, dalam upacara Nyegara Gunung berapapun banyaknya jumlah Roh/ Atma Leluhur yang di tuntun tersebut bisa masuk disana dan distanakan dalam Satu Gedong Bata, Padharman, Paibon, Kemulan Rong Telu, Padadyaan atau Panti. Inilah hebatnya agama Hindu, Orang yang sudah meninggalkan Jazatnya diperlakukan sangat terhormat desembah seperti Malaikat (Dewa- Dewi). Jadi bagi Orang- Orang Hindu Tidak akan sia- sia menanam karma baik kepada Anak, Cucu keturunannya, Keluarga, Masyarakat Bangsa Dan Negara (Dharma Agama dan Dharma Negara). Bersyuhurlah bagi mereka yang masih taat melaksanakan ajaran Hindu, karena semua yang kita lakukan menurut Petunjuk VEDA mengandung makna dan filsafat yang sangat mendalam untuk terwujudnya JAGADHITA dan MOKSA.
Ksamaswamam...OM SANTIH...SANTIH...SANTIH OM... (mangkukris/12082011).

Jumat, 17 Juni 2011

KARMA MARGA








Bintaldam IX/ Udayana melaksanakan Pembinaan Rohani Hindu Kepada anggota Sipil maupun Militer Kodam IX/ Udayana Se Garnizun Denpasar berjumlah lebih kurang 750 Orang, di Pura Praja Raksaka Kepaon Denpasar Bali, sebagai penceramah adalah Bapak Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M. Si, dengan Judul, "Karma Marga". (Kamis, 17/6).

Karma Marga adalah salah satu bagian dari ajaran Catur Marga, yaitu ; Bhakti Marga, Karma Marga, Jenana Marga, Dan Raja Marga. Agama Hindu adalah agama yang pertama ada di dunia ini, kemudian ada orang- orang tertentu yang hanya melihatnya secara subyektif mengatakan agama hindu itu adalah Agama Bhumi, itu tidak benar, memang prosesnya secara alamiah (natural proces), karena ajaran Hindu dalam bentuk Kitab Suci Weda sebagai landasan pokoknya adalah Wahyu di dalam weda disebut Sruti, sruti ini turun dari Brahman (Tuhan) Kepada Orang- Orang Suci Hindu, pada zaman Kerta yuga yaitu suatu zaman belum ada kejahatan- kejahatan seperti sekarang ini, dunia pada zaman itu masih suci. Ada kemungkinan Kitab- kitab Sruti ini dibaca atau ditafsirkan keliru oleh Orang- orang yang bersifat subyektif itu, dia hanya membaca buku- buku tafsir, atau dia sendiri yang menafsirkan sesuai dengan keinginannya, sehingga menyimpulkan Agama Hindu adalah Agama Bhumi, padahal isi pokok weda adalah sruti (wahyu), kemudian baru Smerthi, Acara sada cara dan terakhir adalah Atmanastuti (kebiasaan- kebiasaan Orang- orang Suci). Tentang kerja atau Karma dalam agama Hindu adalah kerja yang tanpa pamerih, tanpa memikir- mikir hasilnya atau menghitung- hitung hasilnya, karena kalau kita terlalu penuh perhitungan berarti kita kena ikatan Hukum Karma dan Samsara. oleh karena itu bekerjalah tanpa terikat dengan hasilnya karena kerja itu adalah kewajiba kita semua, dan Tuhan saja sedetikpun tidak pernah berhenti bekerja,disamping itu apapun yang kita kerjakan hasilnya pasti mengikutinya, karena itu sudah merupakan Hukum Kerja. Ada tiga hal kerja yang perlu diperhitungkan, pertama, bekerja yang benar yalah ilmu kerja harus kita cari tuntut ilmu sampai setinggi- tingginya, kuasai ilmu itu, bekerjalah sesuai dengan ilmu yang anda miliki anda pasti menjadi orang yang profesional dan bekerjalah dengan penuh bhakti/ pengabdian niscaya jagadhita dan moksha akan anda dapatkan, kedua bekerja salah, ini terjadi karena kebodohan, atau karena tidak memahami pekerjaannya, sehingga mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain, bila kita bekerja salah akan kena Hukum Karma dan Samsara, karena kena hukum karma yang bersangkutan akan menjalani hidup :sukha, dukha, lara, pati, oleh karena itu jangan sampai bekerja salah. ketiga, tidak bekerja, ini sangat berbahaya karena kehidupanpun tidak akan bisa dipertahankan karena kita akan selalu mnyusahkan arang lain akan kena Hukum Karma dan Samsara, serta ini sangat bertentangan dengan kepribadian Tuhan karena Tuhan tidak pernah berhenti bekerja, bilaTuhan berhenti bekerja jagadraya beserta isinya akan macet. Oleh karena itu bekerjalah dengan benar. Kaitannya dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat ber Bangsa dan Bernegara sekarang banyak yang tidak memegang janjinya, ingkar dengan ajaran Panca Satya ( satya Hrdaya, satya Wacana, satya Laksana, satya samaya, dan satya Mitra). Satya ini adalah kejujuran, bila kita jujur pasti akan tercapai kebenaran, bila kita benar senantiasa tujuan hidup di dunia dan akhirat akan tercapai, jika menyimpang dari ajaran Panca Satya ini, jangan harap kita akan mencapai kebebasan (kebahagiaan).

Akhirnya Karma Marga adalah suatu jalan kesempurnaan melalui bekerja yang benar, disiplin, berilmu pengetahuan, dan Do'a.
Ksamaswamam...Om Santih...Santih...Santih Om

Kamis, 31 Maret 2011

DHARMASANTI HARI RAYA NYEPI TAHUN BARU CAKA 1933/ 2011 M KODAM IX/ UDAYANA






Anggota Kodam IX/ Udayana yang ber Agama Hindu Se- Garnizun Denpasar berjumlah kira- kira 850 Orang, melaksanakan Dharmasanti Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1933/ 2011 M, bertempat di Pura Agung Jagadnatha Denpasar Bali, di pimpin oleh Ka Bintaldam IX/ Udayana. Pada kesempatan tersebut diisi Dharmawacana oleh Bapak Drs. I Ketut Wiana, M. Ag, mengambil topik mengenai Tahun Caka Kaitannya dengan Nyepi. Rabu (30/3).
Mangawali Dharmawacananya, Bapak Ketut Wiana menyatakan, mengapa Tahun Caka begitu penting bagi umat Hindu ?. Pada zaman dahulu di tempat asalnya agama Hindu di India dikawasan Pegunungan Himalaya disana ada lima suku yang saling ingin berkuasa sehingga setiap saat terjadi peperangan untuk menguasai yang lainnya, hidup masing- masing orang selalalu dihantui dengan ketakutan (peperangan dan ketegangan- ketegangan ini berlangsung selama 750 tahun lamanya), dan diantara suku- suku itu ada suku yang hidupnya tidak gampang berbuat kekerasan, tidak mau menang sendiri dan selalu menghormati dan menghargai yang lainnya suku yang dimaksud adalah suku Caka. Suatu saat yang berkuasa adalah Suku Yuehchi (suku cina) dari dinasti Kaniska, Raja ini mulai berpikir kebaikan, untuk memerintah Negara yang begitu luas dan terdiri dari berbagai suku tersebut, sudah tentu tidak bisa dilaksanakan dengan kekerasan atau diktator karena hal ini akan menimbulkan kebencian dimana- mana. Raja Kaniska mulai belajar dari suku Caka yang kepribadiannya terkenal sangat cinta kasih itu mulailah terjadi perkawinan antar suku, kehidupan Masyarakat menjadi damai saling menyapa, saling membantu, saling menghargai dan lain- lain. Akhirnya Raja Kaniska mengadakan konfrensi ke Negaraan dan Tahun Caka dijadikan tahun resmi ke Negaraan, Tahun 1 Caka dimulai Tahun 78 m. yang merupakan puncak timbulnya rasa toleransi, bebas dari peperangan, bebas dari permusuhan,bebas dari kebencian, serta semuanya lebur menjadi cinta kasih. Inilah alasannya mengapa Tahun Caka Dipergunakan oleh Umat Hindu di muka Bhumi ini, dan di Indonesia dirayakan sebagai hari Nyepi, yang sebelumnya dilaksanakan Penyucian Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung seperti Mekiyis (melis) Ke Laut Atau ke Sumber Air, guna mencapai kesucian dan mendapatkan Air Kehidupan Atau Amerta, dan pada puncaknya melaksanakan Catur Bherata Penyepian. Selanjutnya Bapak Ketut Wiana mengatakan, untuk mengatasi hidup dan kehidupan ini kita harus mampu mengendalikan pikiran, karena kalau kita ditundukkan oleh pikiran, hidup kita tidak akan pernah terpuaskan, hidup akan menjadi tegang,resah, marah, bahkan benci. Sekarang bagaimana pikiran itu supaya tenang, karena didalam hidup dan kehidupan ada orang yang luar biasa suksesnya dan ada yang gagal/ miskin sama sekali, disamping itu pikiran akan sangat mempengaruhi perkataan dan tindakan kita, bahkan akan mempengaruhi badan kita, bisa gelisah/ stress atau sakit. Untuk mencapai tujuan hidup baik di dunia ini maupun akhirat, harus diciptakan keseimbangan, untuk mencapai keseimbangan harus ada keserasihan hubungan antar manusia dengan penciptanya, antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan lingkungannya, sehingga timbul saling menghormati tanpa memandang asal- usul (toleransi), inilah sebabnya pelaksanaan perayaan Nyepi mengandung unsur- unsur penyucian, dan pengendalian Suksma Sarira dan Sthula Sarira (Mekiyis, tawur, dan Catur Bherata Penyepian). Apalagi sekarang dengan adanya global warning, dunia semakin kotor polusi dimana- mana, adanya pergeseran musim, hutan semakin gundul, di Bali hutannya hanya tinggal 22 persen dari luas Pulau Bali, Adanya warisan berupa Bhisama untuk mengajegkan Bali dianggap memberatkan rakyat, itu adalah tidak benar. Dari hasil penelitian WHO, sekarang Orang Bali yang ada di Bali hanya 5 persen yang makan sayur yang lainnya makan daging , dan dari 10 juta binatang yang disembelih menghasilkan 3,1 juta ton gas methana, gas ini sangat mengotori dunia dan mempengarui otak dan badan kita sehingga timbul banyak penyakit yang aneh- aneh, umur manusia menjadi lebih pendek dibandingkan dengan zaman duhulu sebelum volusi seperti sekarang ini, kita sebenarnya terlalu terikat dengan badan ini dan terlalu memanjakannya, serta pikiran tidak pernah merasa puas, sehingga walaupun mempunyai kekayaan material untuk tujuh turunan tidak akan pernah puas dan tidak pernah bahagia, sekali lagi itu terjadi karena kemelekatan serta keterikatan pikiran terhadap benda- benda itu. Untuk itu lepaskan keterikatan dan kemelekatan, arahkan untuk menuju kepada kebahagiaan yang sejati, berbuat baik, menyembah Tuhan menjadi seorang Bhakta yang sejati, dengan demikian kita akan terhindar dari keterikatan yang tidak mendasar, karena keterikatan itu sesungguhnya adalah penderitaan, dan ketidak terikatan adalah kebahagiaan.
Seteh Dharmawacana dilanjutkan dengan persembahyangan, nunas Tirtha, Paramasanti, dan diakhiri dengan Dharmasanti ( saling memaafkan). Suksma...

Om Santih...Santih...Santih Om

Senin, 28 Maret 2011

PIODALAN DI PURA AGUNG UDAYANA MAKODAM IX/ UDAYANA, PADA PURNAMA KEDASA 2011.










Para anggota/ personil Makodam IX/ Udayana dan keluarganya, kira- kira berjumlah 700 Orang, bertepatan dengan Purnama Kedasa 2011, melaksanakan Piodalan Pura Agung Udayana di Makodam IX/ Udayana, di puput Oleh Ida Pedanda Kekeran Pemaron, dari Munggu Badung. Pada Piodalan tersebut disampaikan pula Dharmawacana oleh Ka Bintaldam IX/ Udayana Bapak Drs. I Dewa Ketut Budiana, M. Phil. H, dengan judul "Meningkatkan Moralitas di Zaman Kaliyuga". Senin (28/ 3).

Piodalan diawali ngarga Air suci (Tirtha) pembersihan ataupun pengelukatan dan lain- lain oleh Ida Pedanda , selanjutnya semua Upakara dibersihkan atau disucikan, Tuhan yang dimanifestasikan sebagai Sanghyang Tiga Guru Wisesa dan Sanhyang Tryodasa Saksi dimohonkan hadir sebagai saksi dan memberikan wara nugerahanya, yang sebelumnya dihaturkan Pecaruan berupa Panca Sata, setelah bersih dari segala unsur- unsur negatif dan menjadi suci, semua roh- roh suci, Dewa- dewi, Bhatara- bhatari sampai dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), dipendak diharapkan Turun datang berstana Sesuai tempat yang tersedia di Pura yang suci itu, selanjutnya akan menerima persembahan bhakti dari para bhaktanya diwujudkan dengan berbagai upakara, setelah dihaturkan pesucian, pangereresikan, dihaturkanlah jenis- jenis upakara seperti bebangkit, ajuman, bayuan, dan lain-lain sesuai dengan fungsi upakara- upakara tersebut, Selanjutnya dipersembahkan tari Wali berupa topeng Siddha Karya. Pada piodalan tersebut dilaksanakan juga "Pawintenan Saraswati" kepada 20 Orang Kerama Makodam IX/ Udayana dan keluarganya.

Rangkaian Upacara Piodalan Pura Agung Udayana selanjutnya adalah Persembahyangan dan Dharmawacana, Ka Bintaldam IX/ Udayana Bapak Letkol Caj Drs. I Dewa Ketut Budiana, M.Phil. H yang juga pernah menjabat sebagai Ketua DPRD di Salah satu Tingkat Kabupaten di Kalimantan, dengan Dharmawacananya berjudul "Meningkatkan Moralitas di Zaman Kaliyuga", mengatakan kita sekarang berada di dalam zaman Kaliyuga, adalah suatu zaman yang terjadi serba terbalik bila dbandingkan dengan zaman Kerta yuga, zaman sekarang hampir semua urusan dihitung dengan materi dan serba instan, anak- anak sudah biasa menentang nasehat Orang Tua, banyak terjerumus kelembah hitam, seperti mabuk- mabukan, kasus narkoba, kasus kriminal dan perbuatan menyesatkan lainnya. Kepercayaan kepada Tuhan atau keimanan tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari- hari, karena dalam perdebatan ilmu perpolitikan dan keimanan sangat luar biasa hebatnya, sehingga di zaman kali ini banyak orang- orang tenggelam didalam kemunafikan, dalam kitab- kitab Weda Seperti Brahmaanda Purana, Wisnu Purana, Parasara Dharmasastra dan lain- lain, hanya 25 persen dari Orang- orang di muka Bhumi ini yang keimanannya masih baik artinya pikiran, kata- kata, dan tindakannya sesuai dengan perintah Tuhan, untuk itu mari kita tanyakan kepada diri kita masing- masing apakah kita termasuk golongan 25 persen (ber iman baik) atau tidak. Karena itu marilah kita tingkatkan moralitas kita ini, Pada zaman kali ini sesuai petunjuk sastra Hindu (Weda) kita harus banyak menyebutkan nama Tuhan, untuk itu kita harus rajin sembahyang baik di Rumah seperti Kamar suci, merajan, di Pura- Pura, dan tempat Suci dimanapun berada, minimal laksanan Tri Sandhya Pagi hari, siang hari, dan malam hari (sandhya kala) dan laksanakan Dana Punya Setiap saat misalnya Purnama, Tilem, Piodalan, hari- hari Suci, dan saat- saat persembahyangan sesuai dengan kemampuan masing- masing dengan hati yang tulus iklas. selanjutnya kita harus yakin dan melaksanakan Hukum Karma Phala dan ajaran Tata Susila Hindu untuk menuju kesucian Jagadhita dan Moksa.

Piodalan Pura Agung Udayana Makodam IX/ Udayana Selesai, diakhiri dengan ngelebar dan Parama santih. Om Santih...Santih...Santih Om.

Rabu, 16 Februari 2011

MULAT SARIRA




Bapak Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, dalam Dharmawacananya, yang pada hakekatnya menekankan tentang "Mulat Sarira", kaitannya dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini.Dharmawacana ini disajikan Kepada anggota Kodam IX/ Udayana baik sipil maupun Militer Segarnizun Denpasar, Diikuti lebih kurang 800.000 Orang personil, bertempat di Pura Agung Jagadnata Denpasar. Rabu(16/2).
Pada saat ini disebut zaman moderen, bergerak sangat cepat, apapun yang kita inginkan bila ada uang akan sangat mudah didapatkan, dengan demikian uang adalah segala- galanya, dan bila sudah punya uang banyak, alias kaya, banyak yang lupa kepada Tuhan, artinya sembahyang sangat jarang, padahal kalau kita dalami jati diri kita adalah Tuhan sebagai causa primanya, karena itu sekejappun sebenarnya kita tidak boleh lepas dari Tuhan. Kalau kita perhatikan Khususnya Masyarakat Hindu di Bali Hanya 5 persen yang sembahyang ke Merajan, Padahal Merajan itu adalah Tempat Suci Yang paling dekat dengan Keluarga. Karena itu sembahyang harus menjadi kewajiban dan kebutuhan hidup sehari- hari bila kita menginginkan waranugrahanya Tuhan. Bila hanya uang/ artha menjadi tujuan hidup kita akan terjadi; kita mencari Tuhan bila ditimpa kemalangan (hidup sengsara), bila jatuh sakit, bila mencari kekayaan/ artha, dan bila mencari ilmu pengetahuan. Karena persoalan demikianlah manusia baru ingat mendekat mencari Tuhan, dan ketika sehat dan banyak artha lupa diri, sangat banyak lupa dan dikuasai oleh kegelapan dalam bentuk Sapta Timira dan Sad Ripu.
Karena itu dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini: Pertama mari kita gunakan Wiweka, analisis mana yang baik dan mana yang buruk, masalah Wiweka ini sangat sulit dilaksanakan, orang sucipun bisa kehilangann Wiweka, contoh Maharsi Sarma menggendong seekor Kambing ketemu tiga orang penjahat, penjahat pertama berkata kepada Maharsi Sarma, bahwa yang dibawa itu adalah anjing, penjahat kedua mengatakan anak sapi, dan penjahat yang ketiga mengatakan keledai. Maharsi marah dan mau mengutuknya tetapi setelah para penjahat itu memohon maaf, para penjahat itu dimaafkannya. Akhirnya Maharsi itu berfikir jangan- jangan yang digendong itu adalah Setan karena para penjahat itu mengatakan bahwa yang dibawanya itu bukan kambing akhirnya kambing itu ditinggalkannya, karena kurang Wiweka. Kedua, kendalikan Pikiran, Pikiran jangan diberikan terseret ke hal- hal yang negatif atau yang merugikan, pikiran setiap detik berontak bagaikan seekor burung liar yang dipegang di tangan setiap saat mau melepaskan diri, bila pikiran terseret kehal- hal yang merugikan diri- sendiri, anak, isteri, keluarga masyarakat, Bangsa dan Negara, cobalah berfikir berlawanan misalnya mau selingkuh pikirkan dosa- dosanya, mau korupsi bayangkan bagaimana dipenjara bila digebugin oleh para tahanan dan sipir penjara dan lain- lain.
Akhirnya untuk menghadapi hidup dan kehidupan ini, mari kita hadapi dengan ber Wiweka, kendalikan pikiran, manfaatkan Iptek kearah hal- hal yang positif yang menguntungkan kerohanian kita, dan yang palin Pokok Laksanakan Tugas dan Kewajiban kita mencari Tuhan dan Sembahyang setiap saat sesuai petunjuk Kitab Suci Weda. Ksamaswamam...Om Santih...Santih...Santih Om

Jumat, 21 Januari 2011

PENGENDALIAN DIRI





Bintaldan IX/ Udayana melaksanakan Pembinaan Rohani Agama Hindu, diikuti oleh para anggota Militer maupun Pns Kodam IX/ Udayana se Garnizun Denpasar bertempat di Pura Agung Jagadnatha Denpasar Bali, jumlah hadir lebih kurang 700 orang, sebagai Penceramah Bapak Prof. Dr. Ida Bagus Gunada, M.Si. Dengan judul Dharmawacana adalah,"Pengendalian Diri". Kamis (20/1). Sebagai pendahuluannya, Bapak Prof. Gunada yang juga mantan Rektor IHD yang kini menjadi UNHI, sekarang beliau menjabat sebagai Ketua Jurusan Pasca Sarjana, dan Guru Besar UNHI yang memiliki 16 Guru Besar. Beliau menceritakan asal- usul adanya IHD sampai menjadi UNHI, dan adanya Pesta Kesenian Bali setiap Tahun, itu dirintis oleh Almarhum Profesor Ida Bagus Mantra. Berkaitan dengan judul Dharmawacananya, Pengendalian diri dalam hidup dan kehidupan sebagai manusia adalah merupakan realisasi perintah agama, karena tanpa pengendalian diri hidup akan kacau, dan tujuan agama Hindu yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia tidak akan tercapai, untuk bisa mengendalikan diri, di dalam ajaran Weda banyak sekali yang dapat dipedomani.
Sekarang mengapa kita manusia perlu mengendalikan diri ? karena dahulu kala Prajapati menciptakan Raksasa dan Manusia, Raksasa atau Asura sifatnya selalu membikin kekacauan selalu menebarkan zat- zat yang berracun, sedangkan para Dewa selalu menebarkan kebaikan kebenaran untuk keselamatan semuanya, sehingga terjadi sifat- sifat yang kontradiktif, selalu terjadi pertentangan dan pertempuran para Raksasa melawan para Dewa. Selanjutnya Prajapati menciptakan Manusia, yaitu Dewa digabungkan dengan Raksasa, jadilah manusia yang mempunyai dua sifat Yaitu sifat Dewa (Suri sampat), dan sifat Raksasa (Asuri sampat), karena adanya dua sifat/ watak inilah didalam diri manusia, sehingga kita sebagai manusia perlu mengendalikan diri. Pengendalian diri ini dalam ajaran Agama Hindu disebut tapah, tapah ini berisi kejujuran, kebenaran, keadilan. Jadi tapah itu adalah kesucian. Apabila kita kaitkan dengan kehidupan sekarang tuntutan hidup secara duniawi sangat banyak karena perkembangan zaman, persaingan hidup sangat ketat, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan ini masing- masing ada keterbatasannya, inilah perlunya pengendalian diri, diawali dari pengendalian pikiran, kata- kata, dan tingkah laku kita agar jangan sifat- sifat keraksasan kita yang menang karena didalam diri kita sudah ada unsur- unsur keraksasan ini, sedikit saja kita salah menyikapi hidup dan kehidupan ini kita akan menjadi raksasa/ asura, ingat setelah kematian di Bhumi ini kita hidup didunia lain, sorga atau neraka (dunia rohani) sesuai petunjuk ajaran Weda.
Artha, kita cari tetapi harus berdasarkan Dharma, jangan karena hartha kita menjadi susah dan tidak tenang. Tetapi bila karena Artha kita menjadi sejahtera, bahagia lahir bathin baik dunia maupun akhirat, terpenuhilah kama ( keinginan ) kita seuai dengan ajaran Catur Purushaartha. Oleh karena itu jadilah Manusia berwatak /berkepribadian "Dewa" (Suri Sampat). Om Santih...Santih...Santih Om... Suksma...